Pembagian Jual-beli Syar'i

Bab 2 : Pembagian Jual-beli

Dalam fiqih Islam, jual-beli itu ada begitu banyak macam dan jenisnya. Bab ini khusus akan memetakan berbagai macam jenis jual-beli, lewat beberapa sudut pandang.
Ada begitu banyak sudut pandang untuk membedakan satu jenis jual-beli dengan jenis yang lainnya. Namun setidaknya ada empat sudut pandang yang berbeda dan biasa dibedakan oleh para ulama umumnya.
Sudut pandang yang pertama melihat jenis jual-beli berdasarkan barang yang diperjual-belikan. Sudut pandang yang kedua melihat jenis jual-beli berdasarkan metode penetapan harga. Sudut pandang yang ketiga melihat jenis jual-beli berdasarkan bagaimana harganya. Dan sudut pandang yang keempat melihat jenis jual-beli berdasarkan hukum syariahnya.

A. Berdasarkan Alat Tukar dan Barang

Kalau dilihat dari sudut pandang antara alat pembayaran dan barang yang diperjual-belikan, kita bisa membagi jual-beli itu menjadi empat macam.
Keempatnya adalah jual-beli mutlak, jual beli salam, jual-beli sharaf dan jual-beli muqayadhah.

1. Jual-beli Mutlak

Jual-beli mutlak (بيع المطلق) adalah :
مُبَادَلَةُ الْعَيْنِ بِالدَّيْنِ
Menukar barang dengan hutang
Jual-beli model ini adalah jual-beli yang paling populer, karena memang umumnya dalam jual-beli terjadi pertukaran antara barang dengan hutang, uang atau apapun yang bisa menjadi alat pembayaran.
Dalam hal ini yang menjadi objek yang diperjual-belikan adalah barangnya.

2. Jual-beli Salam

Jual-beli salam (بيع السلم) adalah kebalikan dari jual-beli mutlak, yaitu pada hakikatnya adalah :
مُبَادَلَةُ الدَّيْنِ بِالْعَيْنِ
Menukar antara hutang dengan barang.
Selain definisi di atas, ada juga sebagian ulama yang mendefinisikan jual-beli salam sebagai :
بَيْعُ شَيْءٍ مُؤَجَّلٍ بِثَمَنٍ مُعَجَّلٍ
Jual-beli yang barangnya diserahkan secara tertunda namun uangnya diserahkan secara tunai.
Kalau biasanya yang terjadi dalam jual-beli pada umumnya adalah menukar barang uang, maka dalam jual-beli salam yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu menukar hutang (uang) dengan barang.
Lalu apa bedanya?
Bedanya terdapat pada objek yang diperjual-belikan. Dalam jual-beli mutlak, yang dijadikan objek jual beli adalah barang, sedangkan dalam jual-beli salam, yang dijadikan objek jual-beli adalah hutangnya itu sendiri, yang kemudian dibayar dengan barang.

3. Jual-beli Sharaf

Jual-beli sharaf (بيع الصرف) adalah :
مُبَادَلَةُ الأْثْمَانِ
Tukar menukar uang
Jual-beli sharaf berbeda dengan dua jenis jual-beli di atas. Karena yang dijadikan objek jual-beli bukan barang, tetapi alat pembayaran alias uang.
Contoh yang paling akrab adalah tempat penukaran uang atau money changer antara beberapa mata uang yang berbeda.
Dalam hal ini kita mengelompokkan tukar menukar mata uang asing itu sebagai bagian dari jenis jual-beli. Namun keunikannya, jual-beli ini tidak ada objek jual-beli berupa barang, melainkan objeknya adalah uang. Dan alat tukar atau pembayarnya juga berbentuk uang.

4. Jual-beli Muqayadhah

Jual-beli muqayadhah (بيع المقايضة) adalah kebalikan dari jual-beli sharaf di atas, yaitu :
مُبَادَلَةُ الْعَيْنِ بِالْعَيْنِ
Tukar menukar barang dengan barang.
Dalam bahasa yang lebih populer jual-beli seperti ini disebut dengan barter. Pada hakikatnya, yang dijadikan objek yang diperjual-belikan berbentuk barang, dan alat tukar atau alat pembayarnya juga berbentuk barang.
Sehingga jual-beli ini adalah jual-beli yang tidak melibatkan uang sebagai alat pembayar. Dan bahasa warisan kolonial Belanda, akad ini disebut dengan ruislag.

B. Berdasarkan Penetapan Harga

Kita juga dapat membagi jenis jual-beli berdasarkan cara dalam menetapkan harga. Setidaknya ada tiga macam jual-beli, yaitu musawamah, muzayadah dan amanah.

1. Musawamah

Jual-beli musawamah (مساومة) maksudnya adalah pihak penjual tidak menetapkan harga tanpa menyebutkan nilai modalnya. Penetapan harga seperti ini paling sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

2. Amanah

Penetapan harga berdasarkan amanah (أمانة) adalah dimana pihak menjual membuka harga modalnya kepada pihak pembeli. Sehingga pembeli tahu berapa harga modal dan kuntungan pihak penjualnya.
Dalam bentuk sehar-harinya, penetapan harga berdasarkan amanah ini bisa berbentuk murabahah, tauliyah ataupun wadhi’ah.

3. Muzayadah

Muzayadah (مزايدة) artinya adalah saling melebihkan atau salilng menambahi. Penetapan harga berdasarkan muzayadah dalam kehidupan sehar-hari tidak lain adalah lelang.
Dalam jual-beli sistem lelang, penjual menawarkan suatu barang dengan harga awal tertentu, dimana para calon pembeli datang berkumpul untuk bersaing secara sehat dalam memperebutkan barang yang dijual berdasarkan nilai harga tertinggi.
Muzayadah hukumnya dibenarkan dalam Islam. Yang dilarang adalah menyerobot barang yang telah disepakati untuk dijual kepada pembeli dengan harga yang lebih tinggi.
Seperti A telah sepakat menjual mobilnya kepada B dengan harta 100 juta. Tiba-tiba datang C menyerobot dengan menyodorkan uang 110 juta, sehingga A membatalkan kesepakatannya dengan B.
Lawan dari muzayadah adalah munaqashah, yaitu persaingan diantara beberapa penjual untuk menjual barangnya kepada satu pembeli, dimana pihak yang menawarkan harga yang paling murah yang akan dipilih.

C. Berdasarkan Waktu Serah Terima

Ada berbagai macam jenis jual beli dan kita bica kelompokkan berdasarkan beberapa kriteria.
Maksudnya, ada jual beli yang pembayarannya bersamaan dengan penyerahan barang, tetapi ada juga yang pembayarannya terlebih dahulu baru kemudian barangnya diserahkan.
Sebaliknya, juga ada yang barangnya dulu diserahkan, baru kemudian pembayarannya menyusul. Dan terakhir ada juga yang pembayaran dan penyerahan barang dilakukan kemudian, yang disepakati hanya telah terjadi jual beli.

1. Pembayaran dan Penyerahan Bersamaan

Ini adalah jenis jual-beli yang paling lazim terjadi, dimana seorang penjual menyerahkan barang kepada pembeli dan pembeli menyerahkan uangnya kepada penjual, pada saat yang bersamaan dan ketika jual-beli itu dilakukan.
Orang mengistilahkan, ada uang ada barang. Sering juga disebut dengan istilah jual-beli cash.
Hampir semua jenis jual beli yang terkait dengan kebutuhan sehari-hari dan biasanya nilainya kecil menggunakan cara ini.

2. Pembayaran Lebih Dahulu & Penyerahan Ditunda

Sebenarnya tanpa sadar kita sering melakukan jual-beli dimana kita membayar terlebih dahulu baru kemudian menerima barang atau jasa yang kita bayar.
Jual beli seperti ini sering disebut salam, dimana pembeli menyerahkan uangnya terlebih dahulu, dan menerima barang atau jasa kemudian.
Contohnya pada jual-beli yang bersifat inden, dimana barang belum tersedia, namun calon pembeli sudah antri ingin mendapatkannya. Maka para calon pembeli menyerahkan uangnya dan menerima barang atau jasa di kemudian hari.
Contoh paling sederhana adalah penggunaan pulsa pada telepon seluluer, yang sering diistilahkan dengan pra-bayar. Kita membeli pulsa sebesar Rp. 100 ribu, dan memang ada tertulis di layar ponsel bahwa pulsa kita bertambah. Namun sesungguhnya kita belum menerima jasa pemakaian dari pihak operator. Setelah kita bertelepon, barulah kita menerima jasa secara sesungguhnya apa yang telah kita bayar.

3. Pembayaran Ditunda & Penyerahan Lebih Dahulu

Pada jual-beli ini, penjual menyerahkan barang atau jasa terlebih dahulu dan pembeli menyerahkan uangnya belakangan, pada waktunya nanti.
Istilah gampangnya jual-beli ini disebut berhutang. Contoh yang mudah, seorang mahasiswa makan di warung langganan tiap hari dan dicatat sebagai hutang. Nanti kalau kiriman uang dari kampung sudah sampai, hutang-hutang itu dibayarkan.
Contoh lain yang mudah juga adalah langganan koran. Tukang koran tiap hari mengantar koran ke rumah, dan kita baru membayarnya di akhir bulan. Begitu juga langganan listrik PLN, telepon rumah (PSTN), telepon seluler tipe pasca bayar. Semua itu menggunakan sistem penyerahan barang atau jasa terlebih dahulu, baru kemudian ada pembayaran.

4. Pembayaran dan Penyerahan Sama-sama Ditunda

Pada jual-beli ini terjadi akad tetapi barang tidak diserahkan dan begitu juga pembayaran. Para ulama sering menyebutkan jual-beli ini sebagai jual hutang dengan hutang (بيع الدين بالدين) yang umumnya diharamkan.

D. Berdasarkan Hukum Syariah

Kalau kita membagi jenis jual-beli berdasarkan sudut pandang hukum syariah yang berlaku, maka kita bisa membaginya berdasarkan beberapa jenis akad.
Diantaranya ada akad yang mun'aqid atau akad batil. Ada akad yang shahih atau akad yang fasid. Ada akad yang nafidz atau akad yang mauquf. Dan terakhir ada akad yang lazim atau tidak lazim.

1. Jual-beli Mun'aqid dan Batil

Akad jual-beli yang mun'aqid lawannya adalah akad yang batil.
a. Akad Mun'aqid
مَا يُشْرَعْ بِأَصْلِهِ بِوَصْفِهِ
Akad yang sejalan dengan syariah, baik pada hukum dasarnya ataupun pada sifatnya.
Istilah ashl (أصل) maksudnya hukum dasar jual-beli yang memenuhi rukun dan syaratnya. Sedangkan yang dimaksud dengan washf (وصف), maksudnya adalah sifat dari jual-beli itu.
b. Akad Batil
Dalam hal ini ada sedikit perbedaan antara jumhur ulama dengan mazhab Al-Hanafiyah. Jumhur ulama tidak membedakan antara akad batil dengan akad fasid. Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah membedakan antara akad batil dan akad fasid.
Dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah, akad batil adalah :
مَا لَمْ يُشْرَعْ لاَ بِأَصْلِهِ وَلاَ بِوَصْفِهِ
Akad yang tidak sejalan dengan syariah, baik pada hukum dasarnya dan tidak juga pada sifatnya.
Dengan pengertian akad batil ini, akad itu bukan sekedar haram, tetapi juga tidak sah sebagai jual-beli.
Contoh akad jual-beli yang batil adalah jual-beli bangkai dan janin manusia. Jual-beli ini dari segi asalnya sudah tidak sejalan dengan syariah. Karena yang dijadikan objek jual-beli itu haram lantaran tidak masuk dalam kategori harta.
Maka secara hukum, kalaupun ada dua pihak yang melakukan jual-beli bangkai atau janin manusia, hukumnya tidak sah dan akad itu dianggap tidak pernah terjadi.

2. Jual-beli Shahih dan Fasid

Pembagian akad menjadi shahih dan fasid dalam pandangan jumhur ulama sama saja dengan pembagian akad mun'aqid dan batil.
Sedangkan dalam pandangan Al-Hanafiyah, akad shahih dan fasid dibedakan, keduanya punya pengertian tersendiri yang berbeda dengan pembagian akad mun'aqid dan batil.
a. Shahih
Definisi akad yang shahih menurut mazhab Al-Hanafiyah adalah :
مَا شُرِعَ بِأَصْلِهِ وَوَصْفِهِ وَيُفِيدُ الْحُكْمَ بِنَفْسِهِ إِذَا خَلاَ مِنَ الْمَوَانِعِ
Akad yang sejalan dengan syariat, baik pada asalnya maupun pada sifatnya, dimana akad itu berfaidah hukum atas dirinya, selama tidak ada pencegah.
b. Fasid
مَا شُرِعَ بِأَصْلِهِ دُونَ وَصْفِهِ
Akad yang sejalan dengan syariah hanya pada asalnya, namun tidak sejalan pada sifatnya.
Dengan pengertian akad fasid ini, dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah, akad itu cuma sampai hukum haram, namun secara hukum tetap sah sebagai transaksi.
Maka kalau ada dua pihak melakukan akad jual-beli yang fasid, keduanya berdosa karena melanggar syariah, namun hukum jual-belinya tetap sah.
Konsekuensinya si penjual berhak memiliki uang pembayaran dan si pembeli berhak memiliki barang yang telah dibelinya.
Contoh akad yang fasid adalah jual-beli yang sah, tetapi dilakukan pada saat imam berkhutbah Jumat. Sebagaimana kita tahu bahwa Al-Quran melarang kita berjual-beli saat khutbah disampaikan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.(QS. Al-Jumuah : 9)
Kalimat tinggalkanlah jual-beli tentu maksudnya adalah larangan, hukumnya haram dan pelakunya berdosa.
Namun yang jadi pertanyaan, kalau seandainya ada orang yang nekat melanggar larangan dengan tetap melakukan jual-beli saat Jumatan, apakah jual-beli itu sah?
Dalam pandangan jumhur ulama, jual-beli itu tidak sah. Sebaliknya dalam pandangan Al-Hanafiyah, jual-beli itu sah hukumnya meski pelakunya berdosa.
Lalu apa konsekuensinya?
Kalau kita menggunakan pendapat jumhur ulama, karena hukum dasarnya tidak sah, maka uangnya harus dikembalikan keapda pembeli dan barangnya harus dikembalikan kepada pedagang.
Sebaliknya, kalau kita pakai pendapat mazhab Al-Hanafiyah, tidak perlu ada yang dikembalikan lantaran jual-beli itu sudah dianggap sah, meski pelakunya berdosa. Itulah perbedaan akad jual-beli batil dengan fasid dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah.
Dalam jual-beli batil, akad jual-belinya sejak dasarnya memang sudah tidak sah. Sedangkan jual-beli fasid, akad dasarnya sudah sah, namun pelakunya berdosa.

3. Jual-beli Nafidz dan Mauquf

Akad jual-beli juga bisa dibedakan berdasarkan apakah akad itu sudah putus ataukah masih menggantung. Oleh karena itu para ulama ada membagi jual-beli menjadi akad nafidzdan akad mauquf.
a. Nafidz
Akad nafidz adalah akad yang sudah 100% diputuskan, sehingga tidak perlu ada lagi pertimbangan lainnya.
b. Mauquf
Sedangkan akad mauquf sebenarnya adalah akad yang sah dari sisi dasar-dasar dan sifatnya, bahkan sudah terjadi perpindahan kepemilikan walaupun belum sempurna kepemilikan, karean sifatnya masih menggantung pada persetujuan pihak lain.
Maka pengertiannya adalah :
مَا يَكُونُ مَشْرُوعًا بِأَصْلِهِ وَوَصْفِهِ وَيُفِيدُ الْحُكْمَ عَلَى سَبِيل التَّوَقُّفِ وَامْتَنَعَ تَمَامُهُ لأِجْل غَيْرِهِ
Akad yang sejalan dengan syariah, baik dari sisi dasarnya ataupun sifatnya, dan sudah berfaidah hukum namun sifatnya hanya secara menggantung (mauquf) atau belum sempurna kepemilikan, tercegah kepemilikannya secara sempurna akibat adanya pihak lain.
Ada begitu banyak contoh yang bisa disebut dari akad-akad mauquf ini, diantaranya :
§ Anak Kecil
Anak kecil yang belum cukup umur dan belum mengerti urusan harta. Sedaninya dia melakukan akad jual-beli dengan menggunakan hartanya sendiri, maka hukumnya bergantung kepada Ayahnya atau walinya. Kalau keduanya menyetujui, maka jual-beli itu sah, dan kalau sebaliknya maka hukumnya tidak sah.
§ Tidak Sempurna Akalnya
Orang yang tidak sempurna akalnya (ghairu rasyid), sah tidaknya kalau berjual-beli tergantung dari ketetapan qadhi.
§ Orang Sakit Menjelang Kematian
Menurut pendapat Abu Hanifah, seorang yang sakit menjelang kematian, kalau dia melakukan akad transaksional harus mendapat persetujuan dari para ahli warisnya.
§ Orang Yang Menggadaikan Harta
Seorang yang hartanya sedang digadaikan bisa saja menjual-hartanya itu kepada pihak lain. Namun sah atau tidaknya tergantung pihak yang menerima gadainya, apakah mengizinkan atau tidak.
§ Harta Bersama
Seorang yang memiliki harta bersama dengan orang lain, ketika akan menjual bagiannya, harus mendapat persetujuan dulu dari temannya. Dan temannya bisa menyetujuinya atau sebaliknya, semua bergantung kepadanya.
§ Harta Orang Lain (fudhuli)
Seorang yang menjual harta milik orang lain tanpa sepengetahuannya, maka hukumnya akan bergantung kepada persetuan dari pihak pemilik aslinya.
Kalau pemilik aslinya setuju, jual-beli itu sah. Dan bila tida, hukumnya pun tidak sah juga.
¨

[1] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 3 hal. 560
[2] Hadits shahih menurut Hakim
Share this article :
+
Previous
Next Post »
1 Komentar untuk "Pembagian Jual-beli Syar'i"
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog. - Hapus