Lima rahasia Zalora tetap bertahan di industri fashion hingga tahun ketiga


Lima rahasia Zalora tetap bertahan di industri fashion hingga tahun ketiga

Salah satu raksasa fashion e-commerce Zalora baru saja menginjak usia tiga tahun. Perusahaan yang masih satu keluarga dengan Rocket Internet ini hadir di awal 2012 dan memiliki kantor pusat di Singapura serta telah melakukan ekspansi ke negara lainnya seperti Hong Kong, Malaysia, Thailand, Indonesia, Filipina, dan Vietnam. Di Australia dan Selandia Baru, Zalora hadir dengan nama The Iconic.

Sejak awal berdiri, Grup Zalora berhasil meraih pendanaan dengan total USD 238 juta (Rp 3,1 triliun) dalam empat putaran dari delapan investor, berdasarkan data yang dihimpun oleh Techlist. Beberapa investor yang ikut ambil bagian adalah JP Morgan, Tengelmann, dan VC Kinnevik, Access Industries, dan Summit Partners, selain tentunya Rocket Internet.

Misi utama Zalora adalah memberi solusi pasar fashion kepada 600 juta orang di Asia Tenggara dan Australia. Berdasarkan laporan keuangan pada akhir 2014, sejauh ini mereka telah mendapat laba lebih dari USD 63.5 triliun (Rp 83 kuadriliun).

Bagi Zalora, fakta bahwa penetrasi internet di sebagian besar wilayah di Indonesia yang masih rendah dan pembangunan infrastruktur yang belum tersebar tidak menjadi masalah besar. Raksasa e-commerce ini menaruh harapan di masa depan. Beberapa tahun mendatang, hasil studi ini menyatakan bahwa penduduk Asia Tenggara akan mengalami kenaikan pendapatan bersih dan berimbas pada perbaikan teknologi dan infrastruktur yang akan menggiring mereka menjadi online shopper.

Bila ini benar terjadi, maka akan terjadi kenaikan signifikan sebesar USD 63,5 milyar (sekitar Rp 83 kuadriliun) untuk pasar fashion dari pembelian pakaian, sepatu, dan aksesori secara online. Hal menggiurkan ini yang dinantikan Zalora.

Tech in Asia berkesempatan berbicara dengan Managing Director Zalora Tito Costa. Kami membahas banyak hal tentang Zalora, mulai dari langkah awal, tantangan, dan rencana mendatang. Inilah lima poin utama dari perbincangan kami:

1. Jalan panjang dan melelahkan
Dari 2012 hingga 2013, Zalora Group mendapat pendanaan dalam empat periode. Tito menyebut strategi ini sebagai “pengukuhan diri sebagai pemain jangka panjang dalam pasar keuangan intensif”.

Investasi ini tentu hadir dengan harapan raihan keuntungan di masa mendatang. Pada 2013, berdasarkan laporan rahasia yang dibocorkan oleh Manager Magazin Jerman didapat fakta bahwa Zalora menderita kerugian sebanyak USD 95 juta (Rp 1,2 triliun) di 2012, namun diprediksi akan mulai menghasilkan keuntungan di 2015.

Saat dikonfirmasi mengenai target yang ingin dicapai di 2015, Tito enggan untuk menjawabnya. Laporan terakhir yang dirilis perusahaan di 2014 memperlihatkan bahwa kerugian terus dialami Zalora. Kondisi yang sedikit lebih baik yang terjadi pada 2014, namun secara keseluruhan, masih tetap merugi.

Pilihan kata dari Tito ketika menyamakan pendanaan Zalora layaknya medan perang sepertinya tidak berlebihan. Semua pihak di Zalora siap bila mereka harus melewati kondisi tersulit. Mereka telah menyiapkan diri untuk menghadapi pertempuran yang mungkin akan terus terjadi di kemudian hari, baik dari infrastruktur ataupun kompetitor.

2. Terus mengakomodir beragam keinginan konsumen
Zalora memulai usaha mereka sebagai toko online yang menampilkan katalog barang dagangan dari beragam brand terkenal. Namun sejak 2013, mereka mulai mengembangkanbrand dengan nama sendiri, awalnya bernama Ezra. Lalu di tahun 2014, label Zalora mulai diluncurkan. Dengan menguasai seluruh mata rantai usaha, Zalora dapat beradaptasi dengan cepat pada tren yang ada dan pilihan di setiap musimnya.

Di pertengahan 2014 yang bertepatan dengan bulan Ramadan, Zalora mengenalkan lini baru pakaian Muslim dan busana yang lebih tertutup. Lalu untuk merangkul para etnis China di Singapura, Malaysia, dan Vietnam, mereka merilis koleksi Tahun Baru China.


Masih di 2014, Zalora meluncurkan marketplace di dalam sistemnya. Tito menjelaskan bahwa, “Ini bukan marketplace C2C, melainkan butik dengan koleksi dari para desainer lokal. Kini marketplace milik Zalora telah memiliki sekitar 2.000 penjual dan 100.000 produk berbeda.”

Tito melihat adanya ‘permintaan lebih’ dari para butik di dalamnya, yang besar kemungkinan juga memasarkan produk mereka melalui Instagram dan Facebook. Melalui marketplace ini, Zalora mengharapkan dapat mengakomodir cara berjualan profesional dengan platform yang telah matang dan menyediakan solusi keamanan pembayaran dan infrastruktur keseluruhan. Menurut Tito, marketplace ini belum sepenuhnya mewakili porsi besar dari bisnis Zalora, namun mereka berniat untuk melanjutkan cara ini.

3. Tren baru belanja online melalui aplikasi


Aplikasi mobile Zalora untuk perangkat iOS dan Android telah diluncurkan sejak April 2013 dan Juli 2013. Tito mengatakan bahwa hingga akhir 2014, separuh dari traffic Zalora berasal dari mobile, baik dari mobile website maupun aplikasi. Tito mengkonfirmasi bahwa pengguna tidak datang hanya sekadar melihat-lihat, namun juga tidak sedikit yang langsung berbelanja melalui gadget mereka. Sayangnya Tito menolak menyebut angka pasti keuangan Zalora yang didapat dari mobile.

Ia hanya bercerita bahwa biasanya pengguna menghabiskan waktu 50 menit per bulan di aplikasi Zalora, yang telah mendapat sekitar 5 juta unduhan sejauh ini. Secara tersirat, Tito menyampaikan bila Zalora tengah berencana untuk fokus pada pasar di ranah mobile saja. Ia melihat banyak warga Asia Tenggara lebih banyak menghabiskan waktu saat menggunakan smartphone ketimbang laptop.

Tito menambahkan, salah satu tolak ukur keseriusan Zalora dalam ranah mobile adalah kerja sama mereka dengan aplikasi chatting seperti Line dan Viber. Untuk mengetahui kepopuleran mereka di Asia Tenggara, ia berencana untuk membuka shopping channel di beberapa aplikasi pihak ketiga tersebut.

4. Pengalaman berbelanja tanpa rasa khawatir
Target lainnya dari Zalora adalah menyiapkan diri untuk memberikan pengalaman berbelanja tanpa dihantui kekhawatiran. Salah satu upaya dalam hal ini adalah ‘pengantaran di hari yang sama dengan pemesanan’. Dengan dikenakan biaya tambahan, konsumen dapat memesan secara online di pagi hari dan menerima barang di sore hari. Layanan ini sudah tersedia di Jakarta, Manila, Singapura, Ho Chi Minh City, dan Bangkok.

Untuk menembus batas antara toko offline dan online, Zalora telah mencoba membuka tokopop-up. Usaha ini, menurut Tito, telah banyak menggaet konsumen baru dan menanamkan kepercayaan dari beberapa konsumen yang masih skeptis terhadap layanan online shopping. Zalora telah membuka toko pop-up ini di kawasan yang identik dengan belanja, seperti Orchard Road di Singapura. Namun rencananya, ia akan membuka toko lainnya di kota tujuan kedua dan ketiga.

Tito melihat keseluruhan tren dari perpaduan upaya online dan offline, layaknya pelaku ritel offline yang mulai melirik dunia online, atau cara sebaliknya. “Vertikal ranah fashion akan terus tumbuh, dan konsumen terus mencari cara berbelanja termudah tanpa perlu was-was,” tambah Tito.

5. Memperluas lahan bisnis
Zalora menyadari ketatnya persaingan dengan kompetitor besar lainnya di Asia Tenggara dan negara lainnya; kebanyakan dari mereka telah melirik kenaikan permintaan dari kelas menengah yang mulai bergairah. Di Indonesia, Zalora kini berhadapan dengan MatahariMall, kompetitor dengan bantuan dana kuat dari jaringan investor lokal dan telah mendapatkan pendanaan USD 500 juta (Rp 6,5 triliun). Seperti Zalora, MatahariMall juga tengah mencari solusi integrasi layanan toko online dan offline. Melalui jaringan ritel Matahari Department Store, mereka telah memiliki infrastruktur yang dibutuhkan.

Tito mengaku tidak khawatir dengan perkembangan ini. “Kami sedang berada di fase pertumbuhan sangat cepat. Penetrasi e-commerce masih stabil seperti yang diprediksi. Pertumbuhan yang cepat dalam skala besar memberi keuntungan bagi banyak pihak.”

Fokus utama Zalora saat ini adalah meraih konsumen potensial sebanyak 600 juta di Asia Tenggara agar mau masuk ke ranah fashion online. Ini artinya mereka membutuhkan bantuan infrastruktur, seperti logistik dan sistem pembayaran – dalam hal ini Zalora telah menerapkan sistem pembayaran COD (Cash on Delivery) – sebagai bagian dari proses membangun kebiasan baru di antara penggila belanja.

Tito mengakui bahwa masa depan dengan kondisi pasar yang cepat berubah sangat susah diprediksi. Mantra rahasia Zalora untuk meraih kesuksesan adalah “jangan berhenti berinovasi.”

(Diedit oleh Elfa Putri dan Pradipta Nugrahanto)
Share this article :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Lima rahasia Zalora tetap bertahan di industri fashion hingga tahun ketiga"