Hak Cipta itu Halal atau Haram ???



Hak Cipta

Kajian tentang hukum hak cipta masuk ke dalam kajian fiqih komtemporer yang hanya terjadi di zaman sekarang. Di masa lalu tidak dikenal hak cipta, sehingga kita tidak akan menemukan kajiannya dalam literatur fiqih klasik peninggalan para ulama dalam kitab-kitab turats.

Maka kajian tentang hak cipta ini sengaja Penulis masukkan pada bagian kelima dari buku ini, yaitu khusus membahas masalah muamalat kontemporer. 

A. Pengertian 
Seringkali kita mendengar istilah hak cipta, hak paten dan hak merek digunakan secara bersamaan. Sebenarnya penggunaan istilah ini bagi masyarakat awam barangkali tidak menjadi persoalan, karena nyaris mirip sekali dan tidak ada bedanya. 

Padahal dalam konteks hak kekayaan intelektual, penggunaan istilah tadi apabila digunakan dalam waktu yang bersamaan merupakan suatu kekeliruan yang sangat fatal. 

1. Hak Kekayaan Intelektual 
Dalam hukum, semua itu disebut dengan hak kekayaan intelektual, atau disingkat menjadi HKI. Dan secara umum, HKI dibedakan menjadi dua macam, yaitu hak cipta dan hak milik perindustrian. 

a. Hak Cipta 
Hak cipta memberikan perlindungan atas ciptaan-ciptaan di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. 

b. Hak Milik Perindustrian 
Hak ini terdiri dari hak paten, hak merek, hak desain industri dan hak rahasia dagang : 
  • Hak paten memberikan perlindungan atas invensi di bidang teknologi. 
  • Hak Merek memberikan perlindungan atas logo atau simbol dagang. 
  • Hak Desain industri memberikan perlindungan atas kreasi berupa bentuk, konfigurasi, komposisi yang dapat berupa dua dimensi atau tiga dimensi yang memiliki nilai estetika dan untuk menghasilkan suatu produk,komoditi industri dan kerajinan tangan. 
  • Hak Rahasia Dagang memberikan perlindungan atas informasi bisnis atau teknologi yang bernilai ekonomi dan dijaga kerahasiaannya. 
Pembagian hak kekayaan intelektual tersebut dilakukan salah satu alasannya karena bagian-bagian hak kekayaan intelektual ini memiliki objek perlindungan yang berbeda-beda. 

2. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan 'hak cipta' adalah : 
Hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang (seperti hak cipta dalam mengarang, menggubah musik); 

3. Undang-undang Hak Cipta
Undang-undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta dalam Bab 1 Ketentuan Umum, Pasal 1, menyebutkan bahwa 'Hak Cipta' adalah : hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku .[1]

Sedangkan yang dimaksud dengan 'pencipta' menurut UU tersebut adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. 

Dan yang dimaksud dengan Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. 

Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut. 

Istilah 'hak cipta' memang agak sedikit salah kaprah, sebab istilah 'cipta' punya kesan kuat sebagai wilayah kekuasaan Allah SWT. Mungkin yang agak tepat malah istilah dalam bahasa Inggrisnya, yaitu 'copyright'. 

Seharusnya terjemahnya menjadi 'hak salin', dan bukan hak untuk 'menciptakan', karena penciptaan adalah hak Allah SWT. Manusia tentu saja tidak bisa mencipta. 

Namun karena istilah 'hak mengkopi' sangat aneh di telinga kita, maka untuk selanjutnya kita sebut saja dulu dengan bahasa aslinya, yaitu copyright. Dan copyright ini juga bukan kebalikan dari 'copyleft'. 

B. Sejarah Hukum Hak Cipta
Kalau kita lihat dalam berbagai literatur fiqih klasik, rasanya sulit bagi kita untuk menemukannya. Barangkali karena 'urf di masa lalu belum lagi mengenal kekayaan dalam bentuk itu. 

1. Tidak Dikenal Dalam Literatur Fiqih Klasik
Saat itu para ulama dan ilmuwan berkarya dengan tujuan satu, yaitu mencari ridha Allah SWT semata tanpa embel-embel untuk mendapatkan harta kekayaan. 

Di masa itu, semakin banyak orang mengambil manfaat atas karyanya, semakin berbahagia-lah dia, karena dia melihat karyanya itu berguna buat orang lain. Dan semua itu selain mendatangkan pahala buat pembuatnya, juga ada rasa kepuasan tersendiri dari segi psikologisnya. 

Apa yang mereka lakukan atas karya-karya itu jauh dari motivasi materi atau uang. Sedangkan untuk penghasilan, para ulama dan ilmuwan bekerja memeras keringat. Ada yang jadi pedagang, petani, penjahit dan seterusnya. Mereka tidak menjadikan karya mereka sebagai tambang uang. 

Karena itu kita tidak pernah mendengar bahwa Al-Imam Asy-Syafi'i, Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad bin Hanbal atau pun Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim menuntut seseorang karena dianggap menjiplak hasil keringat mereka. Bila ada orang yang menyalin kitab shahihnya, maka beliau malah berbahagia. 

2. Hak Cipta Lahir di Barat
Para analis sejarah umumnya mengatakan bahwa latar belakang dibuatnya hak cipta lebih merupakan kepentingan dari para penerbit buku. 

Atau lebih tepatnya, hak cipta dilahirkan karena adanya persaingan bisnis di antara para penerbit buku. Persaingan bisnis dan upaya melindungi kepentingan bisnis para penerbit inilah yang nampaknya lebih mendominasi ketimbang melindungi hak-hak penulisnya sendiri. 

Buktinya hak cipta ini baru ramai dibicarakan orang setelah ditemukannya mesin cetak. Padahal berjuta jilid buku sudah ditulis ribuan tahun sebelumnya. Dan buku-buku itu disalin secara manual oleh banyak orang, namun kita tidak pernah menemukan tuntutan dari penulis buku kepada para penyalin dan pembacanya. 

Sekedar diketahui, bahwa sebelum era penemuan mesin cetak, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Karena itu jual-beli salinan buku di masa itu tidak termasuk bisnis yang menggiurkan. 

Dahulu di negeri muslim dikenal ada profesi yang disebut warraq. Warraq (وراق) merupakan kata dalam bahasa Arab yang artinya stasioner atau pembuat kertas, termasuk penulis, penerbit, printer, pencatat dan 'mesin' manual untuk memperbanyak buku. 

Hanya saja produksinya sangat terbatas, karena semua cuma ditulis dengan tangan, tidak bisa digandakan dalam jumlah besar dan memerlukan waktu yang amat lama. 

Pada tahun 1440 Johannes Gutenberg dari kota Mainz, Jerman menciptakan mesin cetak generasi pertama. Mesin ini kemudian terus disempurnakan, sehingga dapat dapat memproduksi buku secara massal dan dalam waktu singkat. 

Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra (Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works) tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. 

Dalam konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. 

Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut selesai. 

Begitu banyak buku yang bisa dicetak dan digandakan dalam waktu singkat dengan biaya yang murah. Tentu penemuan mesin cetak ini menggairahkan bisnis buku, sehingga mulai banyak bermunculan industri percetakan dan penerbitan (printing anda publisher). 

Munculnya banyak percetakan dan penerbit kemudian melahirkan persaingan bisnis, yang kemudian mengantarkan mereka ke level pembidanan hak cipta tulisan. 

Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah -bukan para penulis- yang pertamakali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin. 

Sejak itulah muncul pihak-pihak yang bisa mendapatkan keuntungan berlipat hanya dengan menggandakan, sementara penerbit yang telah membeli hak cipta dari penulis aslinya malah merasa dirugikan. 

3. Hak Cipta Menjalar ke Dunia Islam
Lalu 'urf berubah, sesuatu yang awalnya hanya sekedar kekayaan dalam bentuk maknawi, kemudian sudah berubah menjadi kekayaan dalam bentuk mali (harta). Inilah kemudian yang mendasari pada ulama di masa kontemporer untuk memasukkan copyright sebagai hak kekayaan harta. 

Hak cipta barulah ditetapkan dalam masyarakat barat yang mengukur segala sesuatu dengan ukuran materi. Dan didirikan lembaga untuk mematenkan sebuah 'penemuan' dimana orang yang mendaftarkan akan berhak mendapatkan royalti dari siapa pun yang meniru atau membuat sebuah formula yang dianggap menjiplak. 

Kemudian hal itu menjalar pula di tengah masyarakat Islam dan akhirnya dimasa ini, kita mengenalnya sebagai bagian dari kekayaan intelektual yang dimiliki haknya sepenuhnya oleh penemunya. 

Berdasarkan 'urf yang dikenal masyarakat saat ini, maka para ulama pada hari ini ikut pula mengabsahkan kepemilikan hak cipta itu sebagaimana ketetapan dari majelis Majma' Al-Fiqh Al-Islami di atas. 

C. Fatwa Kontemporer Terkait Hak Cipta
1. Majma' Fiqih Islami
Pada tanggal 10-15 Desember 1988, Majma` Al-Fiqh Al-Islami pada Muktamar kelima di Kuwait telah menetapkan bahwa copyright adalah bagian dari hak kekayaan seseorang. Berikut ini adalah terjemah dari keputusan tersebut: 

Keputusan No. 43 (5/5) 
Tentang Hak-hak Maknawiyah 

Majelis Majma' Fiqih Islami International dalam muktamar rutin kelimanya di Kuwait dari 1 s/d 6 Jumadil Ula 1409 H/ 10-15 Desember 1988 M, setelah mengkaji beberapa makalah dari para ulama dan para ahli tentang hak-hak maknawiyah, serta setelah mendengar diskusiyang terkait dengan hal itu, 

Menetapkan sebagai berikut : 
Pertama : nama usaha, merek dagang, logo dagang, karangan, dan penemuan, adalah termasuk hak-hak khusus bagi pemiliknya. Dan di masa sekarang ini telah bernilai sebagai harta kekayaan yang muktabar untuk menjadi pemasukan. Dan hak ini diakui oleh syariah, sehingga tidak dibenarkan untuk melanggarnya. 

Kedua : dibenarkan untuk memperjual-belikan nama usaha, merek dagang, atau logo dagang itu, atau mempertukarkannya dengan imbalan harta, selama tidak ada gharar, penipuan dan kecurangan. Karena dianggap semua itu adalah hak harta benda. 

Ketiga : hak atas tulisan, penemuan dan hasil penelitian terlindungi secara syariah, para pemiliknya punya hak untuk memperjual-belikannya, dan tidak dibenarkan untuk merampasnya. 

2. Fatwa Dr. Said Ramadhan Al-Buthi 
Apa yang telah dijadikan keputusan oleh Institusi ini, sebelumnya juga telah menjadi pendapat Dr. Said Ramadhan Al-Buthi. Ulama besar Syiria ini sebelum juga telah menetapkan copyright sebagai bagian dari harta kekayaan milik seseorang yang wajib dihargai dan haram untuk diambil begitu saja. 

Beliau menjelaskan bahwa pada masa lampau, sebuah karya ilmiah muncul dan terpendam dalam otak pengarangnya. Transmisi ilmu yang terkandung bisa terwujud berkat kreatifitas tangan para penulis dengan susah payah menulis dan menyalinya. 

Akan tetapi, pada saat itu tulisan yang dihasilkan tidak tampak nilai harta atau penghargaan bersifat materi kecuali hanya pujian yang tertuju pada pengarangnya. Melalui potret sistem yang berlaku pada saat itu, kita bisa menarik kesimpulan bahwa sebuah afirmasi terhadap karya ilmiah adalah hak yang bersifat immateri (maknawi) bagi penciptanya atau pengarang-nya. 

Sehingga masalah copyright ini tidak bisa dianggap sepele, karena menyangkut kerugian harta pada diri orang lain. 

Bahkan dalam syariat Islam, tidak dibedakan apakah hak itu milik muslim atau pun non muslim. Sebab Rasulullah SAW telah menjamin bahwa setiap muslim adalah seorang di mana orang lain akan selamat dari lisan dan tangannya. 

Maksudnya, seorang muslim itu tidak akan merugikan orang lain, baik dengan mulutnya seperti fitnah, tuduhan, kedustaan, atau pun juga dari tangannya, seperti pencurian, perampokan dan juga menyabotan hak kekayaan intelektual. 

D. Kritik Terhadap Hak Cipta
Di atas sudah disinggung tentang awal mula lahirnya hak cipta, yaitu untuk melindungi kepentingan bisnis para pengusaha percetakan dan penerbitan. 

Dan setelah undang-undang itu punya wujud nyata, ternyata justru menimbulkan kerugian banyak pihak, khususnya hak-hak khalayak untuk dapat belajar dan mendapatkan akses terhadap ilmu pengetahuan. 

Sebab nyaris semua ilmu tertulis di buku, sedangkan buku ini milik para penguasaha. Masyarakat tidak bisa lagi mendapatkan ilmu kecuali harus lewat proses 'memperkaya' di penguasaha. 

Kritikan-kritikan terhadap hak cipta secara umum dapat dibedakan menjadi dua sisi, yaitu sisi yang berpendapat bahwa konsep hak cipta tidak pernah menguntungkan masyarakat serta selalu memperkaya beberapa pihak dengan mengorbankan kreativitas, dan sisi yang berpendapat bahwa konsep hak cipta sekarang harus diperbaiki agar sesuai dengan kondisi sekarang, yaitu adanya masyarakat informasi baru

Keberhasilan proyek perangkat lunak bebas seperti Linux, Mozilla Firefox, dan Server HTTP Apache telah menunjukkan bahwa ciptaan bermutu dapat dibuat tanpa adanya sistem sewa bersifat monopoli berlandaskan hak cipta. 

Karena itulah muncul reaksi terhadap undang-undang hak cipta ini dari tengah khalayak. Di antara alasan untuk menentang hak cipta ini antara lain : 

1. Monopoli Produk
Dalam perkembangan berikutnya, hak cipta dan hak paten ini berkembang ke arah monopoli produk. Karena begitu sebuah perusahaan memegang hak paten atas formula produknya, secara hukum hanya mereka yang berhak untuk memproduksi barang tersebut atau memberikan lisensi. 

Dan otomatis, mereka pulalah yang menentukan harga jualnya. Bila ada orang yang menjual produk yang sama tanpa lisensi dari pihak pemegang paten, maka kepada mereka hanya ada dua pilihan, bayar royalti atau dihukum baik dilarang berproduksi, didenda atau hukum kurungan. 

Masalahnya timbul bila pemegang paten merupakan perusahaan satu-satunya yang memproduksi barang tersebut di tengah masyarakt dan tidak ada alternatif lainnya untuk mendapatkan barang dengan kualitas sama, padahal barang itu merupakan hajat hidup orang banyak. 

Bila pemegang hak paten itu kemudian menetapkan harga yang mencekik dan tidak terjangkau atas barang yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, maka jelas telihat unsur ketidak-adilannya. 

Dengan kata lain, produsen itu ingin mencekik masyarakat karena mereka tidak punya pilihan lain kecuali membeli dengan harga yang jauh di atas kemampuan mereka. 

Kasus pematenan pembuatan tempe beberapa waktu yang lalu oleh pihak asing adalah contoh hal yang naif tentang dampak negatif pematenan ini. Bagaimana mungkin tempe yang entah sudah berapa generasi menjadi makanan orang Indonesia, tiba-tiba dipatenkan oleh orang dari luar negeri atas namanya. 

Jadi bila nanti ada orang Indonesia membuat pabrik tempe yang besar dan bisa mengekspor, harus siap-siap diklaim sebagai pembajak oleh mereka. Karena patennya mereka yang miliki. 

Bayangkan bahwa setiap satu potong tempe yang kita makan, sekian persen dari harganya masuk ke kantong pemegang paten. Padahal mereka barangkali pemegang paten itu sendiri tidak pernah makan tempe atau tidak doyan tempe. 

Dalam kasus seperti ini, bagaimana mungkin kita dikatakan sebagai pencuri hasil karya mereka? Padahal tempe adalah makanan kebangsaan kita, bukan? 

2. Mustahil Melarang Penyalinan dan Penggandaan
Di zaman industri maju saat ini, penyalinan dan penggandaan sebuah karya apapun bentuknya adalah kerja yang sangat mudah dan murah. Apalagi bila kita bicara tekonologi digital. 

Saat ini meski banyak undang-undang telah dibuat untuk membela pemilik copy right, penyalinan dan penggandaan semua bentuk informasi dalam format digital adalah sebuah keniscayaan. Silahkan perhatiakan semua peralatan elektronik di sekeliling kita. 

Hampir semua komputer atau laptop dilengkapi dengan port USB atau soket untuk kartu memori. Apalagi dengan adanya jaringan internet dimana semua pengguna bisa saling bertukar file. Semua itu sarana paling mudah untuk menyalin dan menggandakan. 

Radio Tape dan VCR yang ada di rumah-rumah pun dilengkapi dengan tombol [rec] untuk merekam. Mesin photo copy dijual secara resmi dan itu adalah sarana penyalinan dan penggandaan paling populer. Koran dan majalah kini terbit di Internet dimana seluruh orang dapat mem-browse, yang secara teknik semua yang telah dibrowse itu pasti tercopy secara otomatis ke PC atau ke Hardisk. 

Artinya secara tekonologi, fasilitas untuk menyalin dan menggandakan suatu informasi pada sebuah media memang tersedia dan menjadi kelaziman. Dan menyalin dan menggandakan adalah sebuah hal yang tidak mungkin dihindari. 

Bila dikaitkan dengan undang-undang hak cipta yang bunyinya cukup 'galak', semua itu menjadi tidak berarti lagi. Atau silahkan buka buku dan simaklah di halaman paling awal : "Dilarang keras menterjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit". 

Itu artinya anda dilarang mempotocopy sebuah buku walau pun hanya setengah halaman saja. Tapi lihatlah deretan kios photo copy yang tersebar di seluruh negeri, bukankah diantara kerja mereka adalah mempotocopy buku (sebagian atau seluruhnya). 

3. Memperkaya Penguasaha Kaya
Sesungguhnya para produsen produk digital sudah yakin bahwa pengcopy-an seperti itu mustahil diberantas. Dan secara neraca keuangan, bila ada seorang mencopy sebuah program / software untuk dirinya, tidak akan berpengaruh. 

Yang sebenarnya ingin dihindari adalah pengcopy-an secara massal untuk dijual lagi kepada konsumen. Bentuk inilah yang diistilahkan dengan pembajakan hak cipta. Dan memang untuk itulah undang-undang hak cipta dibuat untuk melindungi pordusen dari kerugian. Selain itu untuk menghindari pembajakan massal itu, mereka juga sudah memiliki strategi jitu, yaitu dengan menurunkan harga serendah-rendahnya mendekati harga produk bajakan. 

Itu bisa dilihat bila kita bandingkan VCD original dan bajakan yang kini harganya tidak terpaut jauh, sedangkan dari segi kualitas suara dan gambar, tenju saja sangat berbeda jauh. Buat konsumen yang normal, pasti mereka lebih memilih VCD original ketimbang menonton versi bajakan yang di dalamnya ada gambar penonton keluar masuk, bersuara berisik atau layar yang berbentuk trapesium. 

Tetapi kenapa pembajakan itu timbul? 

Salah satu penyebabnya barangkali 'ketakamakan' produsen sendiri yang memasang harga terlalu tinggi antara biaya dan harga jual di pasar. Bila VCD bajakan bisa dijual seharga Rp. 3.000,- perkeping, mengapa dulu VCD original mematok harga hingga Rp. 50.000,-. Ini jelas terlalu tinggi. 

Maka wajar bila mereka sendiri yang kena getahnya dengan adanya pembajakan. Sekarang mereka sadar, dalam dunia digital, tidak mungkin mengambil keuntungan dengan memark-up harga jual, tetapi justru dengan memproduk barang sebanyak-banyaknya lalu menjual semurah-murahnya sehingga mengundang jumlah pembeli yang lebih banyak. Dengan cara ini maka pembajakan masal sudah tentu mati kutu. 

E. Beberapa Alternatif Solusi 
Kembali ke masalah hukum, maka menimbang persoalan di atas, bila seseorang mengcopy sebuah program khusus untuk pribadi karena harganya tidak terjangkau sementara isinya sangat vital dan menjadi hajat hidup orang banyak, maka banyak ulama yang memberikan keringanan. Namun bila seseorang membeli mesin pengcopy massal lalu 'membajak' program tersebut secara massal dimana anda akan mendapatkan keuntungan, disitulah letak keharamannya. 

Hukum Islam sendiri pada hari ini mengakui ada hak cipta sebagai hak milik atau kekayan yang harus dijaga dan dilindungi. Dan membajak atau menjiplak hasil karya orang lain termasuk bagian dari pencurian atau tindakan yang merugikan hak orang lain. Hukum Islam memungkinkan dijatuhkannya vonis bersalah atas orang yang melakukan hal itu dan menjatuhinya dengan hukuman yang berlaku di suatu sistem hukum. 

Namun memang patut disayangkan bahwa sebagian umat Islam masih belum terlalu sadar benar masalah hak cipta ini, sehingga justru di negeri yang paling banyak jumlah muslimnya ini, kasus-kasus pembajakan hak cipta sangat tinggi angkanya. Barangkali karena masalah hak cipta ini memang masih dianggap terlalu baru dan kurang banyak dibahas pada kitab-kitab fiqih masa lampau. 

Secara umum, hak atas suatu karya ilmiyah, hak atas merek dagang dan logo dagang merupakan hak milik yang keabsahaannya dilindungi oleh syariat Islam. Dan merupakan kekayaan yang menghasilkan pemasukan bagi pemiliknya. Dan khususunya di masa kini merupakan 'urf yang diakui sebagai jenis dari suatu kekayaan dimana pemiliknya berhak atas semua itu. Boleh diperjual-belikan dan merupakan komoditi. (lihat Qoror Majma' Al-Fiqh Al-Islami no.5 pada Muktamar kelima 10-15 Desember 1988 di Kuwait). 

Namun dalam prakatek kesehariannya, ada juga hal-hal yang perlu diperhatikan selain demi kemashlahatan para pemilik hak cipta itu, yaitu hak para konsumen yang ternyata juga terhalang haknya untuk mendapatkan karya yang seharusnya. 

[1] Undang-undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta dalam Bab 1 Ketentuan Umum, Pasal 1,
Share this article :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Hak Cipta itu Halal atau Haram ???"